Kutatap langit kelam malam hari, indah bertabur bintang,
Kubayangkan sebuah lukisan ditorehkan indah di kanvas atap dunia,
Ditemani keangkuhan sang rembulan,
bersanding gagah bersama serombongan awan,
dilukis dengan kuas keindahan, menggunakan tinta kebajikan.
Khayalan yang hanya sekedar hayalan,
Berharap pelangi hadir dimalam hari.

Alan termenung di sudut terminal, menanti bus dengan nomor 10 terpampang di kaca depan dan belakang, entah berapa minggu telah dilalui, entah berapa bulan telah dilewati, wanita dengan senyum manis tersebut tak juga berhasil di temukannya. Pikirannya penuh, penuh dengan bayang – bayang sang wanita, kemanapun dilayangkan pandangan, sosok wanita itu terus menghantuinya.
Malam itu langit cerah terang benderang, hanya ada beberapa awan yang berarak berusaha mengacaukan susana. Beberapa burung hantu bertengger tenang di dahan pohon, tubuhnya diam tak bergerak, hanya kedua bola matanya bergerak liar mencari mangsa, burung yang dijadikan simbol kecerdasan di dunia barat, tetapi menjadi momok menakutkan penanda kedatangan makhluk halus di dunia timur ini menjadi satu – satunya peramai malam itu.
Sorang wanita cantik, bertubuh langsing, rambut panjang terurai, dengan senyum manis menghiasi wajahnya, menatap Alan yang termenung sendirian, dan bertanya,
”sedang apa kamu disitu?”
”oh aku sedang menunggu seorang wanita pujaan hatiku” jawab Alan.
”apakah aku wanita pujaan hatimu?” wanita cantik itu kembali bertanya
Alan menjawab ”ah, tidak - tidak, kekasih pujaan hatiku, ia tidak selangsing dan tidak secantik kamu”
Wanita tersebut tersenyum, lalu pergi belalu meninggalkan Alan.
Tak berapa lama datang wanita yang lain, wanita itu menggunakan kacamata tipis, menandakan dirinya suka membaca, rambut bergelombang sebahu, diikat di pangkalnya, memamerkan lehernya yang jenjang.
Wanita tersebut mengajukan pertanyaan yang sama, ”sedang apa kamu disitu?”
”aku sedang menunggu gadis pujaan hatiku” kembali Alan menjawab hal yang sama.
”apakah aku wanita pujaan hatimu itu?” tanya sang wanita.
Alan heran, tetapi dia tetap menjawab ”ah, bukan – bukan, pujaan hatiku tidak seindah dan mungkin tidak sepintar kamu”
Wanita tersebut tersenyum, lalu pergi berlalu meninggalkan Alan.
Kejadian yang sama terjadi sampai wanita kelima juga bertanya, ”sedang apa kamu disitu?”
Dan Alan tetap memberikan jawaban yang sama pula.
Akhirnya sesosok wanita muncul disudut jalan, berdiri dibawah sinar lampu, wanita tersebut tidak muda lagi, garis – garis keriput memenuhi wajahnya, sebuah selendang berwarna hijau marun melilit kepalanya, menutup rambut dan telinganya. Tetapi meskipun begitu, aura kecantikan masa mudanya masih terlihat jelas, menandakan bahwa dirinya sempat menjadi kembang desa di daerah tempat tinggalnya.
Wanita itu melangkah pelan, cahaya rembulan seakan – akan mengikuti tiap langkahnya, dia berhenti disebelah Alan, dari dekat tampak jelas wajahnya mencerminkan kebijakan, kebijakan seorang wanita.
”Sedang apa kamu disitu?” tanya sang wanita sama.
”oh, gak ngapa-ngapain kok bu, cuman lagi menunggu wanita pujaan hatiku” jawab Alan.
”Sudah berapa lama kau menunggunya?”
”Aku tidak tahu sudah berapa lama, sudah berbulan-bulan aku menunggu”
”dan kau belum menemukannya?” tanya sang wanita tua
”belum” jawab Alan
Sang wanita berkata dengan bijak, ”Kau telah menanti wanita pujaan hatimu, entah berapa lama, berminggu – minggu, berbulan – bulan, tapi kau tak menemukannya. Bukankah artinya kau telah menemukannya?”
Wanita tua itu lalu beranjak pergi setelah mengatakan hal tersebut, meninggalkan Alan yang tengah kebingungan.
Alan terhenyak, tersadar akan arti kalimat wanita tersebut,
Penantiannya, penantian panjangnya yang sebenarnya telah dia temukan, karena jika kita telah berusah sampai titik kemampuan kita dan tak menemukan yang kita nantikan, artinya kita telah menemukannya, bukan seorang wanita pujaannya, tetapi sebuah kenyataan.
Kenyataan yang ada dihadapannya, bahwa wanita sang pujaan hatinya telah pergi jauh dari dirinya, kenyataan pahit yang memang harus diterimanya.
Kenyataan bahwa Pelangi tak mungkin hadir di malam hari.

Wajah

Membasuh kembali wajahku dan menatapnya lekat lekat di kaca, bajingan tengik terpampang disana, seringai penuh kecurangan, bengis yang licik, wajah sesosok pengkhianat, menyesali perbuatannya sesekali tapi di ulang lagi,
Kembali ku nyalakan kran air di wastafel itu, ku lempar genggaman air di kedua tangan ke wajahku, masih wajah yang sama, wajah yang entah menyimpan apa, tak tahu mencari apa, sulit dimengerti maunya bagaimana, wajah yang tak pernah puas dengan semua perbuatan durjananya, selalu menginginkan yang bukan miliknya
Ku buka telapak tanganku, menerima beberapa tetes pembersih muka, ku usap di wajah si jagoan kecil yang suka bikin ulah, mulutnya kerap kali meneriakan kata maki, si jagoan kecil yang pengecut,tak pernah menerima kalah walau jelas salah, semua pola nampak di sebuah wajah, masih berkaca…wajah sial dangkalan itu tertawa..
Wajah itu mengkerutkan dahinya, ingat ulah bapaknya, melaksanakan ibadah lebih dari seharusnya, namun tak pernah absent jua membuat ibu sakit hatinya, ia bukan hanya mendua, tapi tiga, empat atau lima, alih alih itu sunah…menggunakan atribut ibadah dan melaksanakannya nyaris sempurna, tapi berkhianat…tak mampu sembuhkan sakitnya
Benci polygami jadinya, dukung polyandri biar orang orang seperti bapaknya tau rasa sakitnya…memaki serupa “mereka” berkotbah…apalah bedanya…suaranya nyaris sama…berteriak tanpa mampu mempertanggung jawabkan teriakannya, yang berteriak berkotbah, mampukah mereka mempertanggung jawabkan kotbahnya ?, melaksanakan semua teriakan ajakan beribadahnya…menyakiti bukanlah ibadah, perlukah teriakan makianku mengingatkannya…?
Wajah itu masih berkaca, pasrah…kini ia mirip bapaknya…membuat sakit hati pasangannya, menari kesana kemari tak merasa dosa, menutupi diri dengan atribut “ibadah” versinya sendiri, bekerja…menjadi orang yang berguna…bukankah itu juga ibadah ?
Wajah itu merasa sesak di dadanya…mungkin pasangannya merasa sakit serupa derita ibunya, karena memilih berpasang dengannya yang serupa bapaknya…menggemari wajah wajah muda berseri menarik hati, satu sehari, silih berganti, begitu sampai nanti…sampai pasangannya sakit hati atau mungkin mati…
Wajah itu menangis…air matanya bergulir menghangatkan pipi, hidung, dan bibirnya, berbaur dengan air liurnya, yang selalu ingin meludahi bapaknya, orang orang serupa bapaknya dan bahkan dirinya sendiri pada akhirnya, ia menyesali dan ingin berhenti sesekali, ingin menjadi ibunya, yang walau telah memilih berpasangan dengan penggemar polygami demi aman sendiri dan reality, tapi ia tetap menanti sampai kenyataan mampu berkompromi, sampai ia tersadar itu hanya bisa jadi mimpi, tak pernah ada konsekwensi yang bisa dipahami, hanya menikmati derita dan sakit hati setiap hari…
Wajah itu kini melempar pantulannya sendiri, memecah cermin di depannya, benci melihat wajah lain disana, wajah bapaknya…
Wajah itu berpaling dari sana, bayangannya terbahak bak setan biadab, berpaling ke wajah lain, wajah berwarna lebih gelap dari wajahnya, wajah berupa lebih tulus dari wajahnya, wajah lebih sabar dengan tingkah tingkahnya, wajah menanti sampai wajah yang menatapnya berhenti menjadi bapaknya, wajah yang tetap berharap suatu saat ia tak memindahkan derita ibunya padanya, wajah yang seharusnya dapat tercinta selamanya, karena dia berhak dicintai setulus hati…